Budaya Gibah


Budaya Gibah
Oleh: Abdul Kadir Jailani

Hampir di setiap waktu senggang, dunia ini dipenuhi dengan dosa menggunjing (gibah). Gibah adalah membicarakan orang lain, jika orang tersebut mendengarnya niscaya ia akan marah, atau merasa tidak nyaman. Dosa ini dilakukan oleh semua kalangan, baik pejabatnya, rakyat biasa bahkan mereka yang disebut sebagai pemuka agama. Seakan dosa ini menjadi perkara yang biasa dan dibiasakan (ammatul balwa). Kemudian apa sebenarnya yang menyebabkan seseorang begitu ringan mengotori lidahnya dengan dosa gibah ini?
Jika diperhatikan, gibah ini disebabkan oleh penyakit hati yang lain yaitu hasad (dengki) dan sombong. Kedua sifat ini dapat memicu lidah untuk gibah. Orang yang hasad akan selalu senang melihat orang lain menderita. Maka ketika seseorang mendapatkan kebahagiaan, ia akan membicarakan aib-aib orang yang bahagia tersebut. Ia senang melihat orang lain memiliki penilaian yang buruk terhadap orang yang dibencinya. Selain itu, orang sombong juga sangat ringan lidahnya untuk gibah. Karena mereka menganggap dirinya lebih baik dari orang lain, maka mereka selalu membicarakan aib-aib orang lain. Mereka lupa bahwa ucapannya itu sangat menyakiti hati orang lain dan mengotori dirinya sendiri.
Begitu buruknya gibah ini, sampai-sampai al-Qur’an mengumpamakan mereka yang terlibat di dalamnya sebagai orang yang memakan bangkai saudaranya sendiri, sebagaimana tersurat dalam QS. al-Hujurat: 12. Bisa dibayangkan betapa buruk dan menjijikannya memakan bangkai saudara kita. Menurut ayat tersebut, menggunjing merupkan dosa besar yang mencakup haqqul adam dan haqqullah. Karena jika ada larangan yang secara eksplisit disebut dalam al-Qur’an, menurut ulama termasuk dalam dosa besar. Untuk mendapatkan ampunan Allah, ia harus bertaubat dan meminta maaf kepada orang yang digunjing. Mengapa harus meminta maaf? Karena menggunjing adalah salah satu bentuk kezaliman kepada sesama.
Hanya orang-orang yang takut kepada Allah yang bisa menghindari dosa ini. Takut ancaman Allah, takut suatu saat orang-orang yang pernah  ia zalimi akan menuntut kepadanya. Karena di pengadilan Allah tidak ada satu pun yang terlupakan, semua akan ditanyakan dan diminta pertanggungjawaban. Karenanya, menghindari menggunjing merupakan bentuk mujahadah yang besar saat ini, di tengah mewabahnya penyakit ini di semua kalangan.
Ingatlah sabda Rasulallah “Beruntunglah orang yang sibuk dengan aibnya sendiri, sehingga dia lupa mengurus aib orang lain” dan “Berkatalah yang baik atau diamlah”. Menurut hadits ini, kita ditekankan untuk lebih sibuk memperbaiki diri dengan selalu muhasabah atau intropeksi diri. Lebih baik diam dari pada banyak bicara yang tidak bermanfaat, lebih-lebih yang haram. Karena lidah sangat tajam, melebihi samurai yang paling mematikan sekalipun. Sangat benar ungkapan yang mengatakan “Selamatnya seseorang tergantung bagaimana ia menjaga lidahnya”. 
Gibah terjadi akibat ada pihak kedua yang mendengarkan gunjngan itu. Karenannya, Islam menganggap orang yang menggunjing dan pendengarnya sama-sama berdosa. Apalagi orang yang mendengar itu menikmati gibah tersebut. Kaidahnya adalah “Setiap yang haram diucapkan, maka haram pula didengarkan”. Lalu bagaimana solusinya ketika kita terjebak dalam mendengar ucapan-ucapan haram ini?. Hal minimal yang perlu dilakukan adalah mengalihkan pembicaraan, jika tidak bisa, minimal kita mengingkari apa yang dikatakan, dan yang lebih penting kita jangan menikmati gunjingan mereka.
Akhirnya, hanya dengan ketakwaan dan keimanan yang kuat kita bisa terhindar dari perbuatan gibah ini. Seomoga Allah memberikan petunjuk jalan yang lurus.



Previous
Next Post »
Thanks for your comment