Prolog
Menurut data ICW (Indonesian Corruption Watch), jika dilihat
dari latar belakang aktor korupsi, pejabat atau pegawai di lingkungan
Kementrian dan Pemerintah Daerah menjadi pelaku yang paling banyak ditetapkan
sebagai tersangka (212 orang). Disusul aktor yang berlatar belakang sebagai
direktur, komisaris, konsultan dan pegawai di lingkungan swasta diposisi kedua
(97 orang). Selanjutnya, 28 orang berlatar belakang kepala desa, lurah dan
camat ditetapkan sebagai tersangka. Diurutan berikutnya 27 kepala daerah
(Gubernur/Bupati/Walikota), 26 kepala dinas
dan 24 anggota DPR/DPRD/DPD yang ditetapkan sebagai tersangka. (ICW, 2015)
Data di atas menunjukan bahwa para pejabat yang memiliki pekerjaan
yang elit dan berpenghasilan banyak ternyata melakukan korupsi.
Pekerjaan-pekerjaan tersebut tergolong eksklusif, tidak semua orang bisa
mendapatkannya, karena untuk mendapatkannya memerlukan pengorbanan dan modal
besar.
Penghasilan dan kehormatan yang didapatkan dari pekerjaannya
sebagai pejabat publik, ternyata tidak memberikan kepuasan materi. Buktinya,
mereka masih mencari cara untuk memperkaya diri, walaupun dengan mengkhianati
rakyat yang dulu pernah memilihnya sebagai pemimpin. Dengan kata lain pekerjaan
dan jabatan yang tinggi belum tentu mampu memberikan kepuasan secara material,
emosional dan spiritual. Hal ini terlihat dari prilaku mereka yang tidak pernah
puas mengumpulkan materi walaupun dengan cara yang hina.
Apa sesungguhnya yang mereka cari dalam bekerja? Apakah sekedar
materi berupa uang dan kemewahan atau ketenangan batin yang membahagiakan?.
Jika dilihat dari cara mereka bekerja dengan menghalalkan segala cara, mungkin
tujuannya hanya materi dan kepuasan semu belaka. Kecenderungan mereka yang
pragmatis materialistis menunjukan gersangnya hati mereka dengan nilai
spiritual dalam bekerja.
Nilai etos kerja seperti apa yang dibutuhkan dalam bekerja untuk
membangkitkan kesadaran makna bekerja? Sehingga bekerja tidak hanya bermotif
materi, tetapi bekerja sebagai ibadah yang memiliki nilai transenden berupa
penghambaan sebagai makhluk Allah dan sebagai khalifah di muka bumi.
Dalam makalah ini, penulis
mencoba memberikan tawaran pentingnya etos kerja profetik dalam bekerja,
sebagai upaya revolusi mental bangsa menuju mental manusia Indonesia yang
berintegritas dan beridealitas.
Konsep Etos Kerja Profetik
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia etos kerja diartikan sebagai
“Semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu
kelompok”. (Poerwadarminta, 2011: 326) Jika diurai masing-masing kata, etos
berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang merupakan akar kata ethikos
yang berarti moral. Kata ini kemudian dipinjam oleh bangsa Italia yang
mengubahnya menjadi ethicus, dan kemudian digunakan dalam bahasa Inggris
modern sebagai ethics. (Tanjung, 2013: 11) Sedangkan kata “kerja”
sendiri dipahami sebagai sebagai “Sebuah kegiatan melakukan sesuatu untuk
mencari nafkah atau mata pencaharian”. (Poerwadarminta, 2011: 578)
Jadi, etos kerja merupakan prinsip atau keyakinan yang mendorong
seseorang atau kelompok dalam menjalankan suatu pekerjaan yang bersumber dari
nilai-nilai universal. Ketika nilai tersebut bersumber dari Al-Qur’an maka dan
hadis bisa disebut dengan etos kerja islami, misalnya keyakinan bahwa bekerja
adalah ibadah, bekerja sangat dianjurkan oleh agama dan pekerjaan yang halal
adalah suatu keberkahan.
Profetik secara bahasa berarti “Berkenaan dengan kenabian”.
(Poerwadarminta, 2011: 911) Kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophetical
yang mempunyai makna kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi.
Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara
spiritual-indiviual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing
masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan yang tiada henti melawan
penindasan. (Jurdi, 2009: 4)
Oleh karena itu, etos kerja profetik diartikan sebagai cara kerja
yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja bukan hanya untuk memuliakan
dirinya, atau untuk menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga manifestasi amal
saleh, karena ia memiliki nilai ibadah yang sangat luhur dengan berpedoman pada
nilai-nilai kenabian yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunah. Tujuan etos kerja
profetik ini sebagai penyadaran pentingnya penghayatan makna bekerja, sehingga
akan tercipta masyarakat yang sejahtera secara emosional, spiritual dan
material.
Istilah profetik ini
dikenalkan oleh Kuntowijoyo dalam gagasannya yang cukup popular yaitu ilmu
sosial profetik. Menurutnya Ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha
untuk menjelaskan atau memahami realitas sosial dan kemudian memaafkan begitu
saja, tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi
menuju cita-cita yang diidealkan masyarakat.
Kuntowijoyo merumuskan tiga nilai dasar yang menjadi pijakan ilmu
sosial profetik, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Ide ini
sesungguhnya diilhami dari ayat al-Qur’an surat al-Imran 110 yang artinya, “Kamu
adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang
ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Cita-cita
ideal masyarakat dalam bahasa al-Qur’an di atas adalah menjadi khairu ummah
atau umat terbaik, yang akan dicapai dengan menyuruh kepada makruf
(humanisasi), mencegah dari kemungkaran (liberasi) dan beriman kepada Allah
(trasendensi). (Kuntowijoyo, 2007: 86)
Humanisasi dalam perspektif
ilmu sosial profetik artinya memanusiakan manusia, menghiangkan kebendaan,
ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia. Humanisasi yang diusung Kuntowijoyo tidak seperti
liberalisme barat yang bersifat antroposentris, yaitu liberalisme yang berpandangan
bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Kuntowijoyo
mengusulkan humanisasi teosentris, dengan tujuan untuk mengangkat kembali
martabat manusia. Dengan konsep ini
manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk
kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak
lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi.
(Kuntowijoyo, 2007: 100)
Adapun Liberasi dalam ilmu
sosial profetik sesuai dengan prinsip sosialisme. Hanya saja Ilmu Sosial
Profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana
komunisme. Liberasi disini adalah dalam konteks ilmu yang didasari nilai-nilai
luhur transendental. Jika nilai-nilai libertif dalam teologi pembebasan
dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai libertif dalam ilmu
sosial profetik dipahami dan didudukan dalam konteks ilmu sosial yang memilki
tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan,
pemerasan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.
Sedangkan Transendensi merupakan dasar dari dua unsur yang lain.
transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai
bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama
(nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam ilmu profetik.
Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong
terjadinya gairah untuk menangkap kembali altrnatif-alternatif yang ditawarkan
oleh agama untuk meyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance
adalah manusia-manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup
dengan dirinya sendiri. Melalui proses
rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam
raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan
alat-alat bukan kesadaran. Rasio
mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia
menjalani hidup tanpa makna.
Disinilah, transendensi berperan penting dalam memberikan makna
yang akan mengarahkan tujuan manusia. Tujuan yang hakiki yaitu menjadi hamba
Allah yang selalu mengabdi kepada-Nya dalam setiap tingkah lakunya sebagai
khalifah Allah dimuka bumi dengan menjalankan kewajiban bekerja sebagai suatu
ibadah.
Dalam konteks etos kerja, gagasan Kuntowijoyo ini bisa menjadi
tawaran ditengah gersangnya nilai transendental dalam bekerja yang disebabkan
oleh paham pragmatisme dan materialime. Keyakinan dan semangat kerja ini
kemudian dinamakan dengan etos kerja profetik, yang bertujuan untuk merubah
mental para pekerja dari bekerja dengan motif antroposentris menuju motif
teosentris, dari materialistis menuju bekerja yang penuh dengan nilai
spiritualitas.
A.
Etos Kerja Profetik: Relasi Amal dan Iman untuk Kesejahteraan
Kesejahteraan fersi Al-Qur’an bisa diterjemahkan dengan kata “al-falah”,
yaitu mendapatkan keberuntungan yang mencakup dunia dan akhirat. (Ismail, 2012:
2) Kebaikan dunia ini tercermin dalam penghidupan yang baik (hayatun
thayyibah) sedangkan kebaikan akhirat berupa ganjaran pahala dari Allah
dengan memberikan kebahagiaan abadi di surga.
Kesejahteraan ini akan tercapai dengan membangun etos kerja
profetik yang diilhami oleh al-Qur’an Surat an-Nahl ayat 97:
ô`tB
@ÏJtã
$[sÎ=»|¹
`ÏiB
@2s
÷rr&
4Ós\Ré&
uqèdur
Ö`ÏB÷sãB
¼çm¨ZtÍósãZn=sù
Zo4quym
Zpt6ÍhsÛ
(
óOßg¨YtÌôfuZs9ur
Nèdtô_r&
Ç`|¡ômr'Î/
$tB
(#qçR$2
tbqè=yJ÷èt
ÇÒÐÈ
Barangsiapa
yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan
Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik
dari apa yang Telah mereka kerjakan. (Q.S. an-Nahl [16]: 97)
Menurut ayat di atas, untuk mendapatkan kebahagiaan dunia (hayatun
thoyyibah) dan kebahagiaan akhirat (ajrohum bi ahsani ma kanu ya’malun)
harus dengan mengoptimalkan relasi amal dan iman. Pada beberapa ayat yang lain
sering kali kata amal dan derivasinya digandengkan dengan kata iman. Hal ini
menunjukan bahwa untuk mencapai kesejahteraan, seseorang harus bekerja dengan
sungguh-sungguh (amila shalihan) dan menanamkan iman yang kuat kepada
Allah. Allah yang memberikan rizki, Allah yang memerintahkan untuk bekerja dan
Allah lah yang memberikan ganjaran serta ancaman atas semua pekerjaan yang
dilakukan. Kesejahteraan tersebut oleh Allah akan diberikan kepada orang yang
beramal dan beriman. Relasi amal dan iman dalam ayat diatas adalah dasar dari
bangunan etos kerja profetik yang dibahasakan dengan kerja keras dan keimanan:
1.
Kerja Keras
Kerja keras merupakan
spirit dari “amila shalihan”. Kata “amila” dan derivasinya
disebutkan sebanyak 359 kali dalam al-Qur’an. (Kemenag RI, 2: 2012: 81) Secara
garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu pekerjaan yang baik (amal shalih)
dan pekerjaan yang tidak baik (amal gairu shalih). Perbuatan yang
dikatagorikan sebagai amal saleh menurut Muhammad Abduh adalah segala perbuatan
yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia keseluruhannya.
(Abduh, 1980: 257)
Bekerja sebagai
media untuk mencari nafkah, tentunya menjadi hal yang sangat berguna bagi diri
dan keluarga. Oleh karena itu bekerja merupakan salah satu bentuk dari amal
saleh. Pekerjaan yang bermanfaat, jika dilaksanakan dengan penuh semangat dan
kerja keras akan menghasilkan kesuksesan besar yang akan membawa kepada
kesejahteraan. Kerja keras seperti ini sangat diapresiasi oleh Islam.
Lihatlah, apresiasi Rasulallah kepada Sa’ad
bin Musa al-Anshari. Yaitu ketika Rasulallah kembali dari perang Tabuk, beliau
melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa
sengatan matahari. “Kenapa tanganmu?” Rasulallah bertanya. “Karena aku mengolah
tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku”. Rasulallah mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata
“Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”. (HR. Thabrani).
Kegigihan Sa’ad dalam bekerja untuk mencari nafkah keluarganya dalam hadis ini,
harus menjadi watak dan etos kerja setiap muslim.
Bagi seorang
muslim, bekerja merupakan suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan
seluruh aset, pikir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menempatkan
dirinya sebagai hamba Allah Swt. yang harus menundukan dunia dan menempatkan
dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah) atau
dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja, manusia itu
memanusiakan dirinya (Tasmara, 2009: 24)
Meminjam
istilah Kuntowijoyo, bahwa memanusiakan manusia melalui kerja keras termasuk
dalam proyek humanisasi profetik. Melalui kerja keras berarti kita sudah
mengangkat martabat manusia dari keterpurukan menuju kemuliaan. Humanisasi yang
diinginkan dalam etos kerja profetik adalah humanisasi teosentris yang berpusat
pada Tuhan dengan tujuan kemanusiaan, bukan humanisasi antrposentris yang
berpusat pada manusia dan gersang dari nilai transenden.
Kerja keras
yang memanusiakan harus berada di bawah naungan transendensi. Artinya setiap
kerja keras seseorang tidak boleh keluar dari garis-garis syariat yang
diajarkan Islam. Oleh karena itu, semangat humanisasi diarahkan oleh semangat
transendensi, sehingga dalam bekerja penuh dengan pemaknaan dan penghayatan spiritual.
Selain muatan
humanisasi, Qs. An-Nahl 97 juga mengandung aspek liberasi. Dilihat dari
potongan ayat “min zakarin au untsa” yang berarti dari golongan
laki-laki dan perempuan. Ini bermakna, bahwa kerja keras tidak dibatasi pada
jenis kelamin tertentu, misalnya oleh laki-laki saja. Perempuan pun bisa
bekerja keras sesuai tempat dan bidang masing-masing.
Menurut
Kuntowijoyo, salah satu sasaran liberasi adalah sistem pengetahuan yang
merupakan usaha-usaha yang membebaskan seseorang dari pengetahuan materialistis
dan dominasi struktur, misalnya dari kelas dan seks. Islam dalam hal ini
mendukung moderasi, yaitu kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan
dengan perspektif gender. (Kuntowijoyo (2007: 103)
Kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja disebutkan dalam potongan ayat
tersebut, seolah-olah bermaksud mematahkan dominasi gender tertentu. Proyek
liberasi etos kerja profetik menekankan relasi antara laki-laki dan perempuan
dalam bekerja, sehingga masing-masing bisa mengoptimalkan fungsinya untuk
tujuan bersama.
Ayat di atas
menurut Huzaemah (2010: 66) secara terang benderang memberikan keleluasaan
kepada laki-laki dan perempuan untuk aktif dalam berbagai kegiatan termasuk
dalam bekerja. Petunjuk al-Qur’an ini memberikan semangat etos kerja profetik
untuk selalu bekerja keras secara bersama, menurut bidang dan fungsi
masing-masing, apapun latar belakangnya, status sosial dan jenis kelaminnya.
Inilah kira-kira yang dimaksud “min zakarin au untsa” dalam ayat
tersebut.
Kesimpulannya,
etos kerja profetik yang harus dibangun oleh seorang muslim adalah kerja keras
dengan semangat
jama’ah antara laki-laki dan perempuan. Artinya, laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban
sama untuk bekerja keras demi mencapai kesejahteraan. Jika kerja keras hanya
dilakukan oleh satu pihak saja, akan menghambat kemajuan bangsa, karena
sebagian dari aset bangsa tidak dioptmalkan. Mensia-siakan sebagian dari aset
bangsa adalah suatu kemuduran.
Tetapi kerja keras saja tidak cukup, dibutuhkan iman yang kuat menghujam di
dalam dada sehingga setiap pekerjaan yang dilakukan mendapatkan rida Allah dan
pada akhirnya akan mengarah kepada ketentraman batin dan tercapainya
kesejahteraan spiritual.
2.
Keimanan
Iman secara
bahasa diartikan sebagai kepercayaan terhadap suatu agama. (Poerwadarminta,
2011: 439) Iman yang dimaksud disini, bukan sekedar percaya kepada Tuhan, tapi
iman yang mencakup mengucapkan dengan lidah, membenarkan dengan hati dan
mengamalkan dengan anggota badan terhadap agama Islam. (Tasmara, 2002: 2)
Iman dalam QS.
An-Nahl 97 disebut dengan “wa hua mu’min”, yang berarti kerja keras
harus dilandasi dengan keimanan. Seseorang tidak cukup bekerja saja, tanpa
diiringi dengan keimanan. Iman dan amal bagaikan dua sisi mata uang, yang satu
mengesahkan yang lainnya. Iman merupakan fundamen dari segala bangunan yang
akan didirikannya.
Iman merupakan
inti dari etos kerja profetik yang disebut dengan transendensi. Humanisasi dan
liberasi tidak akan berarti jika tidak diarahkan kepada transendensi. Bekerja
tanpa didasari iman hanya akan menjadikan kaya material tapi miskin spiritual.
Orang yang bekerja tanpa keimanan akan cenderung pragmatis dan materialistis.
Pragmatis materialistis di sini, terlihat dari motivasi bekerja untuk
mendapatkan pundi-pundi rupiah semata, kadang-kadang tidak perduli prosesnya,
yang penting tujuannya tercapai walaupun dengan cara yang buruk.
Prilaku korupsi
yang dilakukan oleh para pejabat, meskipun disebabkan oleh banyak faktor, tapi
penyebab intinya adalah masalah iman.
Jika mereka memiliki keimanan yang kuat, pasti tidak akan terjadi
pelanggaran tersebut. Jika para pejabat memiliki iman, tentunya ketika memiliki
kesempatan untuk korupsi, mereka akan ingat ancaman Allah yang sangat berat dan
akan tumbuh penghayatan dalam bekerja, yaitu lebih baik hidup dalam
keterbatasan dengan harta yang halal daripada hidup dalam kemewahan dengan
harta yang haram. Akhirnya, keimanan akan menghilangkan pragmatisme dan
materialistisme.
Dengan keimanan
yang menghujam dalam dada dipastikan seseorang yang bekerja keras akan mencapai
kesuksesan spiritual. Kesuksesan ini oleh Arwani (2010: 17),
diartikan sebagai sebuah pencapaian tahapan spiritual yang menjadikan kita
dekat dengan sang pencipta dan semakin mengerti tentang nilai kehidupan. Sukses
ini berujung pada kesadaran diri bahwa ia merupakan makhluk Allah yang
diciptakan untuk beribadah kepada-Nya dan berbuat baik kepada sesama.
Kerja keras
yang diniatkan untuk ibadah akan membawa kepada kesuksesan dan kesejahteraan
sejati yaitu dunia dan akhirat. Kesejahteraan ini tersurat dalam lanjutan ayat
pada QS. an-Nahl 97 yaitu “falanuhyiannahu hayatan toyyibah walanjziyannahum
ajrohum bi’ahsani makanu ya’malun.” Menurut ayat
ini kerja keras yang dilandasi keimanan yang kuat akan menghasilkan dua
kesuksesan. Pertama “hayatun toyyibah” yaitu kehidupan yang baik di
dunia.
Menurut Zuhaili
(2009: 547), “hayatun toyyibah” diartikan sebagai kehidupan yang baik, jauh dari kegelisahan dan
rasa bosan, sehat jasmani, rizki yang halal serta ketenangan hati dan pikiran.
Seandainya ia hidup dalam kemudahan tidak menyebabkan ia lupa terhadap
kewajiban agamanya dan jika ia ditimpa kesulitan rizki, ia akan merasa cukup
dan rida dengan bagian dari Allah berupa rizki yang halal. Adapun kesuksesan
kedua berupa pahala yang lebih baik dari yang dikerjakan akan diterima
diakhirat kelak berupa surga dan seluruh kenikmatannya.
Kesuksesan
semacam ini yang diridai Allah, bukan kesuksesan semu yang sementara ini banyak
diminati orang. Yaitu mengumpulkan harta untuk foya-foya tanpa berpikir untuk
apa dia hidup dan bekerja di dunia ini. Mereka berpikir pragmatis dan
materialistis, yang penting perut terisi dan kehidupan terjamin, mengenai
tujuan jangka panjang tidak perlu dipikirkan.
Untuk membentuk
etos kerja profetik ini dibutuhkan penghayatan akan makna bekerja sebagai suatu
ibadah dan menumbuhkan keyakinan bahwa bekarja adalah suatu kewajiban bagi
seorang muslim. Hal ini bisa disebut dengan spiritualisasi kerja atau teologi
kerja. Yang berarti bahwa bekerja sesungguhnya merupakan proses pengabdian
kepada Allah.
Barangkali ini
yang disebut oleh Madjid (1999: 76), sebagai etos
kerja Islam yang berarti hasil suatu kepercayaan pada seorang muslim bahwa
kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidup, yaitu memperoleh rida dari Allah
Swt. Berkaitan dengan ini, perlu diingat bahwa Islam adalah agama amal atau
kerja (praxis). Intinya ialah ajaran bahwa hamba mendekati dan berusaha
memperoleh rida Allah melalui kerja atau
amal saleh.
Kerja Sebagai Ibadah
“Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk
menyembahku” (QS.
az-Zariyat 56). Ayat ini memberikan pengertian bahwa tujuan penciptaan manusia
di muka bumi adalah untuk ibadah atau
mengabdi kepada-Nya. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia harus sesuai
dengan tujuan penciptaan ini. Karena jika tidak sesuai, maka yang diperbuat
manusia itu akan sia-sia. Sebagai contoh, piring dibuat sebagai alat untuk
makan, maka piring tersebut akan bermanfaat jika digunakan untuk makan. Jika
piring digunakan untuk duduk atau yang lainnya maka fungsi piring itu akan
sia-sia. Seperti itulah ilustrasi tujuan penciptaan manusia.
Bekerja adalah suatu keniscayaan. Orang yang hidup tidak terlepas
dari bekerja. Oleh karena itu bekerja merupakan bagian dari proses mengabdi
(ibadah) kepada Allah. Bekerja, walaupun berbentuk amalan dunia akan menjadi
ibadah jika diniatkan untuk ibadah. Dan jika tidak diniatkan ibadah maka akan
menjadi aktifitas biasa. Maka ketika kita akan bekerja seharusnya semata-mata
diniatkan untuk ibadah. (Tanjung, 2013: 2)
Posisi niat sangat penting karena niat yang akan membedakan mana
pekerjaan yang bernilai ibadah atau tidak. Rasulallah bersabda “Hanyasanya
setiap pekerjaan itu dengan niat”. (HR. Bukhari Muslim) Hadis nabi ini
menjelaskan betapa pentingnya niat dalam setiap tindakan. Hukum bekerja pada
dasarnya mubah, tetapi ketika diniatkan ibadah maka akan mendapatkan pahala.
Tentunya dengan melakukan pekerjaan yang halal dan diridai Allah Swt.
Seseorang yang
bekerja dengan niat ibadah, berarti telah menjalankan tugas kekhalifahannya yaitu
untuk memakmurkan bumi. Untuk menjalani tugas itu manusia dibekali kekuatan
fisik dan fasilitas untuk memelihara kekuatan tersebut, yaitu makanan dan
minuman. Memelihara kehidupan adalah wajib, sehingga mencari rizki pun wajib.
(Kemenag RI, 2012: 63).
Penjelasan
tentang bekerja yang merupakan salah satu perintah Allah, bisa dilihat pada
ayat adalah Q.S. at-Taubah [9]: 105):
È@è%ur (#qè=yJôã$# uz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur
“Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu,
Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu”.
Pada ayat tersebut Allah berfirman, bahwa bekerja merupakan suatu
kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Terlihat pada potongan
ayat di atas sebuah kata “إعملوا” berarti
“bekerjalah kamu”. Intinya, dalam kalimat tersebut telah jelas bahwa itu
bermakna perintah, karena bentuk kata kerjanya adalah fi’il amr. Dalam ilmu kaidah Usul Fikih setiap asal kata
perintah adalah menunjukan wajib "الاصل في الامر للوجوب" maka, ayat
tersebut berbicara mengenai kewajiban bagi setiap umat untuk bekerja.
Selain ayat diatas, hadis Nabi bisa dijadikan dasar bahwa bekerja
adalah ibadah. Bahkan bekerja dapat dijadikan jaminan atas ampunan dosa,
sebagaimana disabdakan Rasulallah Saw., “Barangsiapa yang diwaktu sorenya
merasakan kelelahan karena bekerja, berkarya dengan tangannya sendiri, maka
sore itulah ia diampuni dosa-dosanya.” (HR. Ibnu Abbas).
Bekerja merupakan tindakan yang sangat terpuji. Oleh sebab itulah
para nabi pun tidak ketinggalan, mereka merupakan pekerja keras untuk memenuhi
kebutuhan diri dan keluarga mereka sebagaimana yang terjadi pada Nabiyullah
Zakaria a.s.. beliau adalah tukang kayu sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.
“Dahuulu Nabi Zakariya a.s. adalah seorang tukang kayu” (HR. Muslim)
Menurut fakta historis, Nabi Muhammad Saw. Juga giat dalam bekerja,
pada mulanya beliau bekerja mengembalakan kambing milik pemannya. Setelah
memasuki usia remaja, beliau menjadi pedagang dengan memperdagangkan barang
milik Sayyidah Khadijah r.a.. Berkat kejujuran dan keuletannya, dimasa mudanya,
beliau sudah menjadi saudagar sukses.
Kiranya, ayat al-Qur’an, hadis dan pengalaman para Nabi di atas
bisa menjadi dasar bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah. Sehingga akan
memberikan motivasi spiritual untuk giat dalam bekerja demi tercapainya
kesejahteraan sejati yang dijanjikan al-Qur’an.
Kesimpulan
Tujuan bekerja adalah untuk mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan
bukan sekedar dalam bentuk material saja, tetapi mencakup spiritual. Bahkan,
kesejahteraan yang kekal abadi adalah kesejahteraan spiritual ini. Dengannya,
manusia akan merasakan ketenangan batin di dunia dan
kebahagiaan di akhirat.
Tujuan mulia ini ternodai oleh
penyimpangan-penyimpangan dalam bekerja yang didorong oleh pandangan pragmatis
materialistis; bekerja hanya sebatas memenuhi kebutuhan material tanpa
menghayati makna bekerja sebagai suatu pengabdian kepada Allah. Oleh sebab itu
dibutuhkan etos kerja profetik dalam bekerja, yaitu etos kerja yang berpedoman
pada prinsip kenabian yang memanusiakan (humanisasi) dan membebaskan (liberasi)
dalam naungan keimanan (transendensi).
Etos kerja profetik yang ditawarkan oleh
Al-Qur’an adalah semangat kerja keras yang dilandasi oleh keimanan. Kerja keras
harus dilaksanakan dengan mengoptimalkan segala aset bangsa baik laki-laki atau
perempuan dan semua pihak dengan tetap berlandaskan keimanan yang kuat.
Dengan kata lain, melalui semangat kerja keras
dengan penuh keimanan kepada Allah Swt. berarti seorang muslim sudah berusaha memanusiakan
dirinya, membebaskan dirinya dari segala bentuk penindasan, dan yang terpenting
adalah dengan bekerja, manusia telah menjalani tugasnya untuk beribadah dan
sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika etos kerja profetik ini menjadi
spirit dalam bekerja maka Allah akan memberikan kebahagiaan berupa kehidupan
yang baik di dunia dan pahala yang besar di akhirat.
Daftar
Pustaka
Abduh,
Muhammad, Tafsir Juz ‘Amma, Beirut, Dar al-Fikr, 1980
Arwani, Ahmad, Delapan
Kunci Sukses Berbisnis: Berbisnis Ala Rasulallah Saw., Jakarta, Inti
Medina, 2010
Ismail, Asep
Usman, Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial Sebuah Rintisan Membangun
Paradigma Sosial yang Berkeadilan dan Berkesejahteraan, Tanggerang, Lentera
Hati, 2012
Jurdi,
Syarifuddin et al, Sosiologi Profetik Invitasi islam Bagi Studi Sosial dan
Kemanusiaan, Yogyakarta, Saroba, 2009
Kemenag RI, Tafsir
al-Qur’an Tematik, Kedudukan dan Peran Perempuan, Jakarta, Kemenag RI, 2012
____________, Tafsir
al-Qur’an Tematik, Bekerja, Usaha dan Kewirausahaan, Jakarta, Kemenag RI,
2012
Kuntowijoyo, Islam
Sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta, Tiara Wacana,
2007
Madjid,
Nurcholish, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, Jakarta,
Paramadina,1999
Poerwadarminta,
W.J.S, Kamus Umum bahasa Indonesia,
Jakarta, Balai Pustaka, 2011
Tanjung, M.
Azrul et al, Meraih Surga dengan Berbisnis, Jakarta, Gema Insani, 2013
Tasmara, Toto, Membudayakan
Etos Kerja Islami, Jakarta, Gema Insani, 2002
Yanggo,
Huzaimah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta, Ghalia Indonesia,
2010
Zuhaili,
Wahbah, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-syari’ah wa al-Manhaj Jilid 7,
Damaskus, Dar al-Fikr, 2009
ConversionConversion EmoticonEmoticon