MEMBANGUN ETOS KERJA PROFETIK DENGAN RELASI AMAL DAN IMAN



Prolog
Menurut data ICW (Indonesian Corruption Watch), jika dilihat dari latar belakang aktor korupsi, pejabat atau pegawai di lingkungan Kementrian dan Pemerintah Daerah menjadi pelaku yang paling banyak ditetapkan sebagai tersangka (212 orang). Disusul aktor yang berlatar belakang sebagai direktur, komisaris, konsultan dan pegawai di lingkungan swasta diposisi kedua (97 orang). Selanjutnya, 28 orang berlatar belakang kepala desa, lurah dan camat ditetapkan sebagai tersangka. Diurutan berikutnya 27 kepala daerah (Gubernur/Bupati/Walikota), 26 kepala dinas dan 24 anggota DPR/DPRD/DPD yang ditetapkan sebagai tersangka. (ICW, 2015)
Data di atas menunjukan bahwa para pejabat yang memiliki pekerjaan yang elit dan berpenghasilan banyak ternyata melakukan korupsi. Pekerjaan-pekerjaan tersebut tergolong eksklusif, tidak semua orang bisa mendapatkannya, karena untuk mendapatkannya memerlukan pengorbanan dan modal besar.
Penghasilan dan kehormatan yang didapatkan dari pekerjaannya sebagai pejabat publik, ternyata tidak memberikan kepuasan materi. Buktinya, mereka masih mencari cara untuk memperkaya diri, walaupun dengan mengkhianati rakyat yang dulu pernah memilihnya sebagai pemimpin. Dengan kata lain pekerjaan dan jabatan yang tinggi belum tentu mampu memberikan kepuasan secara material, emosional dan spiritual. Hal ini terlihat dari prilaku mereka yang tidak pernah puas mengumpulkan materi walaupun dengan cara yang hina.
Apa sesungguhnya yang mereka cari dalam bekerja? Apakah sekedar materi berupa uang dan kemewahan atau ketenangan batin yang membahagiakan?. Jika dilihat dari cara mereka bekerja dengan menghalalkan segala cara, mungkin tujuannya hanya materi dan kepuasan semu belaka. Kecenderungan mereka yang pragmatis materialistis menunjukan gersangnya hati mereka dengan nilai spiritual dalam bekerja.
Nilai etos kerja seperti apa yang dibutuhkan dalam bekerja untuk membangkitkan kesadaran makna bekerja? Sehingga bekerja tidak hanya bermotif materi, tetapi bekerja sebagai ibadah yang memiliki nilai transenden berupa penghambaan sebagai makhluk Allah dan sebagai khalifah di muka bumi.
 Dalam makalah ini, penulis mencoba memberikan tawaran pentingnya etos kerja profetik dalam bekerja, sebagai upaya revolusi mental bangsa menuju mental manusia Indonesia yang berintegritas dan beridealitas.
Konsep Etos Kerja Profetik
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia etos kerja diartikan sebagai “Semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu kelompok”. (Poerwadarminta, 2011: 326) Jika diurai masing-masing kata, etos berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos, yang merupakan akar kata ethikos yang berarti moral. Kata ini kemudian dipinjam oleh bangsa Italia yang mengubahnya menjadi ethicus, dan kemudian digunakan dalam bahasa Inggris modern sebagai ethics. (Tanjung, 2013: 11) Sedangkan kata “kerja” sendiri dipahami sebagai sebagai “Sebuah kegiatan melakukan sesuatu untuk mencari nafkah atau mata pencaharian”. (Poerwadarminta, 2011: 578)
Jadi, etos kerja merupakan prinsip atau keyakinan yang mendorong seseorang atau kelompok dalam menjalankan suatu pekerjaan yang bersumber dari nilai-nilai universal. Ketika nilai tersebut bersumber dari Al-Qur’an maka dan hadis bisa disebut dengan etos kerja islami, misalnya keyakinan bahwa bekerja adalah ibadah, bekerja sangat dianjurkan oleh agama dan pekerjaan yang halal adalah suatu keberkahan.
Profetik secara bahasa berarti “Berkenaan dengan kenabian”. (Poerwadarminta, 2011: 911) Kata profetik berasal dari bahasa Inggris prophetical yang mempunyai makna kenabian atau sifat yang ada dalam diri seorang nabi. Yaitu sifat nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-indiviual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan yang tiada henti melawan penindasan. (Jurdi, 2009: 4)
Oleh karena itu, etos kerja profetik diartikan sebagai cara kerja yang diyakini seorang muslim bahwa bekerja bukan hanya untuk memuliakan dirinya, atau untuk menampakkan kemanusiaannya, tetapi juga manifestasi amal saleh, karena ia memiliki nilai ibadah yang sangat luhur dengan berpedoman pada nilai-nilai kenabian yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunah. Tujuan etos kerja profetik ini sebagai penyadaran pentingnya penghayatan makna bekerja, sehingga akan tercipta masyarakat yang sejahtera secara emosional, spiritual dan material.
 Istilah profetik ini dikenalkan oleh Kuntowijoyo dalam gagasannya yang cukup popular yaitu ilmu sosial profetik. Menurutnya Ilmu sosial tidak boleh berpuas diri dalam usaha untuk menjelaskan atau memahami realitas sosial dan kemudian memaafkan begitu saja, tapi lebih dari itu, ilmu sosial harus juga mengemban tugas transformasi menuju cita-cita yang diidealkan masyarakat.
Kuntowijoyo merumuskan tiga nilai dasar yang menjadi pijakan ilmu sosial profetik, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi. Ide ini sesungguhnya diilhami dari ayat al-Qur’an surat al-Imran 110 yang artinya, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. Cita-cita ideal masyarakat dalam bahasa al-Qur’an di atas adalah menjadi khairu ummah atau umat terbaik, yang akan dicapai dengan menyuruh kepada makruf (humanisasi), mencegah dari kemungkaran (liberasi) dan beriman kepada Allah (trasendensi). (Kuntowijoyo, 2007: 86)
  Humanisasi dalam perspektif ilmu sosial profetik artinya memanusiakan manusia, menghiangkan kebendaan, ketergantungan, kekerasan, dan kebencian dari manusia. Humanisasi  yang diusung Kuntowijoyo tidak seperti liberalisme barat yang bersifat antroposentris, yaitu liberalisme yang berpandangan bahwa kehidupan tidak berpusat pada Tuhan tapi pada manusia. Kuntowijoyo mengusulkan humanisasi teosentris, dengan tujuan untuk mengangkat kembali martabat manusia.  Dengan konsep ini manusia harus memusatkan diri pada Tuhan, tapi tujuannya adalah untuk kepentingan manusia (kemanusiaan) sendiri. Perkembangan peradaban manusia tidak lagi diukur dengan rasionalitas tapi transendensi. (Kuntowijoyo, 2007: 100)
 Adapun Liberasi dalam ilmu sosial profetik sesuai dengan prinsip sosialisme. Hanya saja Ilmu Sosial Profetik tidak hendak menjadikan liberasinya sebagai ideologi sebagaimana komunisme. Liberasi disini adalah dalam konteks ilmu yang didasari nilai-nilai luhur transendental. Jika nilai-nilai libertif dalam teologi pembebasan dipahami dalam konteks ajaran teologis, maka nilai-nilai libertif dalam ilmu sosial profetik dipahami dan didudukan dalam konteks ilmu sosial yang memilki tanggung jawab profetik untuk membebaskan manusia dari kekejaman kemiskinan, pemerasan, dominasi struktur yang menindas dan hegemoni kesadaran palsu.
Sedangkan Transendensi merupakan dasar dari dua unsur yang lain. transendensi hendak menjadikan nilai-nilai transendental (keimanan) sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Transendensi menempatkan agama (nilai-nilai Islam) pada kedudukan yang sangat sentral dalam ilmu profetik.
Ekses-ekses negatif yang ditimbulkan oleh modernisasi mendorong terjadinya gairah untuk menangkap kembali altrnatif-alternatif yang ditawarkan oleh agama untuk meyelesaikan persoalan-persoalan kemanusiaan. Manusia produk renaissance adalah manusia-manusia antroposentris yang merasa menjadi pusat dunia, cukup dengan dirinya sendiri.  Melalui proses rasionalisasi, manusia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa diri dan alam raya. Rasio mengajari cara berpikir bukan cara hidup. Rasio menciptakan alat-alat bukan kesadaran.  Rasio mengajari manusia untuk menguasai hidup, bukan memaknainya. Akhirnya manusia menjalani hidup tanpa makna.
Disinilah, transendensi berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan manusia. Tujuan yang hakiki yaitu menjadi hamba Allah yang selalu mengabdi kepada-Nya dalam setiap tingkah lakunya sebagai khalifah Allah dimuka bumi dengan menjalankan kewajiban bekerja sebagai suatu ibadah.
Dalam konteks etos kerja, gagasan Kuntowijoyo ini bisa menjadi tawaran ditengah gersangnya nilai transendental dalam bekerja yang disebabkan oleh paham pragmatisme dan materialime. Keyakinan dan semangat kerja ini kemudian dinamakan dengan etos kerja profetik, yang bertujuan untuk merubah mental para pekerja dari bekerja dengan motif antroposentris menuju motif teosentris, dari materialistis menuju bekerja yang penuh dengan nilai spiritualitas.

A.    Etos Kerja Profetik: Relasi Amal dan Iman untuk Kesejahteraan
Kesejahteraan fersi Al-Qur’an bisa diterjemahkan dengan kata “al-falah”, yaitu mendapatkan keberuntungan yang mencakup dunia dan akhirat. (Ismail, 2012: 2) Kebaikan dunia ini tercermin dalam penghidupan yang baik (hayatun thayyibah) sedangkan kebaikan akhirat berupa ganjaran pahala dari Allah dengan memberikan kebahagiaan abadi di surga.
Kesejahteraan ini akan tercapai dengan membangun etos kerja profetik yang diilhami oleh al-Qur’an Surat an-Nahl ayat 97:
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ ( óOßg¨YtƒÌôfuZs9ur Nèdtô_r&
 Ç`|¡ômr'Î/ $tB (#qçR$Ÿ2 tbqè=yJ÷ètƒ ÇÒÐÈ
Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan. (Q.S. an-Nahl [16]: 97)

Menurut ayat di atas, untuk mendapatkan kebahagiaan dunia (hayatun thoyyibah) dan kebahagiaan akhirat (ajrohum bi ahsani ma kanu ya’malun) harus dengan mengoptimalkan relasi amal dan iman. Pada beberapa ayat yang lain sering kali kata amal dan derivasinya digandengkan dengan kata iman. Hal ini menunjukan bahwa untuk mencapai kesejahteraan, seseorang harus bekerja dengan sungguh-sungguh (amila shalihan) dan menanamkan iman yang kuat kepada Allah. Allah yang memberikan rizki, Allah yang memerintahkan untuk bekerja dan Allah lah yang memberikan ganjaran serta ancaman atas semua pekerjaan yang dilakukan. Kesejahteraan tersebut oleh Allah akan diberikan kepada orang yang beramal dan beriman. Relasi amal dan iman dalam ayat diatas adalah dasar dari bangunan etos kerja profetik yang dibahasakan dengan kerja keras dan keimanan:
1.      Kerja Keras
Kerja keras merupakan spirit dari “amila shalihan”. Kata “amila” dan derivasinya disebutkan sebanyak 359 kali dalam al-Qur’an. (Kemenag RI, 2: 2012: 81) Secara garis besar dapat dibagi menjadi dua yaitu pekerjaan yang baik (amal shalih) dan pekerjaan yang tidak baik (amal gairu shalih). Perbuatan yang dikatagorikan sebagai amal saleh menurut Muhammad Abduh adalah segala perbuatan yang berguna bagi pribadi, keluarga, kelompok dan manusia keseluruhannya. (Abduh, 1980: 257)
Bekerja sebagai media untuk mencari nafkah, tentunya menjadi hal yang sangat berguna bagi diri dan keluarga. Oleh karena itu bekerja merupakan salah satu bentuk dari amal saleh. Pekerjaan yang bermanfaat, jika dilaksanakan dengan penuh semangat dan kerja keras akan menghasilkan kesuksesan besar yang akan membawa kepada kesejahteraan. Kerja keras seperti ini sangat diapresiasi oleh Islam.
 Lihatlah, apresiasi Rasulallah kepada Sa’ad bin Musa al-Anshari. Yaitu ketika Rasulallah kembali dari perang Tabuk, beliau melihat tangan Sa’ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman karena diterpa sengatan matahari. “Kenapa tanganmu?” Rasulallah bertanya. “Karena aku mengolah tanah dengan cangkul ini untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi tanggunganku”. Rasulallah mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya seraya berkata “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka”. (HR. Thabrani). Kegigihan Sa’ad dalam bekerja untuk mencari nafkah keluarganya dalam hadis ini, harus menjadi watak dan etos kerja setiap muslim.
Bagi seorang muslim, bekerja merupakan suatu upaya yang sungguh-sungguh dengan mengerahkan seluruh aset, pikir dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menempatkan dirinya sebagai hamba Allah Swt. yang harus menundukan dunia dan menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang terbaik (khaira ummah) atau dengan kata lain dapat juga dikatakan bahwa dengan bekerja, manusia itu memanusiakan dirinya (Tasmara, 2009: 24)
Meminjam istilah Kuntowijoyo, bahwa memanusiakan manusia melalui kerja keras termasuk dalam proyek humanisasi profetik. Melalui kerja keras berarti kita sudah mengangkat martabat manusia dari keterpurukan menuju kemuliaan. Humanisasi yang diinginkan dalam etos kerja profetik adalah humanisasi teosentris yang berpusat pada Tuhan dengan tujuan kemanusiaan, bukan humanisasi antrposentris yang berpusat pada manusia dan gersang dari nilai transenden.
Kerja keras yang memanusiakan harus berada di bawah naungan transendensi. Artinya setiap kerja keras seseorang tidak boleh keluar dari garis-garis syariat yang diajarkan Islam. Oleh karena itu, semangat humanisasi diarahkan oleh semangat transendensi, sehingga dalam bekerja penuh dengan pemaknaan dan penghayatan spiritual.
Selain muatan humanisasi, Qs. An-Nahl 97 juga mengandung aspek liberasi. Dilihat dari potongan ayat “min zakarin au untsa” yang berarti dari golongan laki-laki dan perempuan. Ini bermakna, bahwa kerja keras tidak dibatasi pada jenis kelamin tertentu, misalnya oleh laki-laki saja. Perempuan pun bisa bekerja keras sesuai tempat dan bidang masing-masing.
Menurut Kuntowijoyo, salah satu sasaran liberasi adalah sistem pengetahuan yang merupakan usaha-usaha yang membebaskan seseorang dari pengetahuan materialistis dan dominasi struktur, misalnya dari kelas dan seks. Islam dalam hal ini mendukung moderasi, yaitu kemitrasejajaran antara laki-laki dan perempuan dengan perspektif gender. (Kuntowijoyo (2007: 103) 
Kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja disebutkan dalam potongan ayat tersebut, seolah-olah bermaksud mematahkan dominasi gender tertentu. Proyek liberasi etos kerja profetik menekankan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja, sehingga masing-masing bisa mengoptimalkan fungsinya untuk tujuan bersama.
Ayat di atas menurut Huzaemah (2010: 66) secara terang benderang memberikan keleluasaan kepada laki-laki dan perempuan untuk aktif dalam berbagai kegiatan termasuk dalam bekerja. Petunjuk al-Qur’an ini memberikan semangat etos kerja profetik untuk selalu bekerja keras secara bersama, menurut bidang dan fungsi masing-masing, apapun latar belakangnya, status sosial dan jenis kelaminnya. Inilah kira-kira yang dimaksud “min zakarin au untsa” dalam ayat tersebut.
Kesimpulannya, etos kerja profetik yang harus dibangun oleh seorang muslim adalah kerja keras dengan semangat jama’ah antara laki-laki dan perempuan. Artinya,  laki-laki dan perempuan memiliki kewajiban sama untuk bekerja keras demi mencapai kesejahteraan. Jika kerja keras hanya dilakukan oleh satu pihak saja, akan menghambat kemajuan bangsa, karena sebagian dari aset bangsa tidak dioptmalkan. Mensia-siakan sebagian dari aset bangsa adalah suatu kemuduran.
Tetapi kerja keras saja tidak cukup, dibutuhkan iman yang kuat menghujam di dalam dada sehingga setiap pekerjaan yang dilakukan mendapatkan rida Allah dan pada akhirnya akan mengarah kepada ketentraman batin dan tercapainya kesejahteraan spiritual.
2.      Keimanan
Iman secara bahasa diartikan sebagai kepercayaan terhadap suatu agama. (Poerwadarminta, 2011: 439) Iman yang dimaksud disini, bukan sekedar percaya kepada Tuhan, tapi iman yang mencakup mengucapkan dengan lidah, membenarkan dengan hati dan mengamalkan dengan anggota badan terhadap agama Islam. (Tasmara, 2002: 2)
Iman dalam QS. An-Nahl 97 disebut dengan “wa hua mu’min”, yang berarti kerja keras harus dilandasi dengan keimanan. Seseorang tidak cukup bekerja saja, tanpa diiringi dengan keimanan. Iman dan amal bagaikan dua sisi mata uang, yang satu mengesahkan yang lainnya. Iman merupakan fundamen dari segala bangunan yang akan didirikannya.
Iman merupakan inti dari etos kerja profetik yang disebut dengan transendensi. Humanisasi dan liberasi tidak akan berarti jika tidak diarahkan kepada transendensi. Bekerja tanpa didasari iman hanya akan menjadikan kaya material tapi miskin spiritual. Orang yang bekerja tanpa keimanan akan cenderung pragmatis dan materialistis. Pragmatis materialistis di sini, terlihat dari motivasi bekerja untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah semata, kadang-kadang tidak perduli prosesnya, yang penting tujuannya tercapai walaupun dengan cara yang buruk.
Prilaku korupsi yang dilakukan oleh para pejabat, meskipun disebabkan oleh banyak faktor, tapi penyebab intinya adalah masalah iman.  Jika mereka memiliki keimanan yang kuat, pasti tidak akan terjadi pelanggaran tersebut. Jika para pejabat memiliki iman, tentunya ketika memiliki kesempatan untuk korupsi, mereka akan ingat ancaman Allah yang sangat berat dan akan tumbuh penghayatan dalam bekerja, yaitu lebih baik hidup dalam keterbatasan dengan harta yang halal daripada hidup dalam kemewahan dengan harta yang haram. Akhirnya, keimanan akan menghilangkan pragmatisme dan materialistisme.
Dengan keimanan yang menghujam dalam dada dipastikan seseorang yang bekerja keras akan mencapai kesuksesan spiritual. Kesuksesan ini oleh Arwani (2010: 17), diartikan sebagai sebuah pencapaian tahapan spiritual yang menjadikan kita dekat dengan sang pencipta dan semakin mengerti tentang nilai kehidupan. Sukses ini berujung pada kesadaran diri bahwa ia merupakan makhluk Allah yang diciptakan untuk beribadah kepada-Nya dan berbuat baik kepada sesama.
Kerja keras yang diniatkan untuk ibadah akan membawa kepada kesuksesan dan kesejahteraan sejati yaitu dunia dan akhirat. Kesejahteraan ini tersurat dalam lanjutan ayat pada QS. an-Nahl 97 yaitu “falanuhyiannahu hayatan toyyibah walanjziyannahum ajrohum bi’ahsani makanu ya’malun. Menurut ayat ini kerja keras yang dilandasi keimanan yang kuat akan menghasilkan dua kesuksesan. Pertama “hayatun toyyibah” yaitu kehidupan yang baik di dunia.
Menurut Zuhaili (2009: 547), “hayatun toyyibah” diartikan sebagai kehidupan yang baik, jauh dari kegelisahan dan rasa bosan, sehat jasmani, rizki yang halal serta ketenangan hati dan pikiran. Seandainya ia hidup dalam kemudahan tidak menyebabkan ia lupa terhadap kewajiban agamanya dan jika ia ditimpa kesulitan rizki, ia akan merasa cukup dan rida dengan bagian dari Allah berupa rizki yang halal. Adapun kesuksesan kedua berupa pahala yang lebih baik dari yang dikerjakan akan diterima diakhirat kelak berupa surga dan seluruh kenikmatannya.
Kesuksesan semacam ini yang diridai Allah, bukan kesuksesan semu yang sementara ini banyak diminati orang. Yaitu mengumpulkan harta untuk foya-foya tanpa berpikir untuk apa dia hidup dan bekerja di dunia ini. Mereka berpikir pragmatis dan materialistis, yang penting perut terisi dan kehidupan terjamin, mengenai tujuan jangka panjang tidak perlu dipikirkan.
Untuk membentuk etos kerja profetik ini dibutuhkan penghayatan akan makna bekerja sebagai suatu ibadah dan menumbuhkan keyakinan bahwa bekarja adalah suatu kewajiban bagi seorang muslim. Hal ini bisa disebut dengan spiritualisasi kerja atau teologi kerja. Yang berarti bahwa bekerja sesungguhnya merupakan proses pengabdian kepada Allah.
Barangkali ini yang disebut oleh Madjid (1999: 76), sebagai etos kerja Islam yang berarti hasil suatu kepercayaan pada seorang muslim bahwa kerja mempunyai kaitan dengan tujuan hidup, yaitu memperoleh rida dari Allah Swt. Berkaitan dengan ini, perlu diingat bahwa Islam adalah agama amal atau kerja (praxis). Intinya ialah ajaran bahwa hamba mendekati dan berusaha memperoleh rida Allah melalui kerja  atau amal saleh.





Kerja Sebagai Ibadah
“Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali hanya untuk menyembahku” (QS. az-Zariyat 56). Ayat ini memberikan pengertian bahwa tujuan penciptaan manusia di muka bumi  adalah untuk ibadah atau mengabdi kepada-Nya. Setiap perbuatan yang dilakukan oleh manusia harus sesuai dengan tujuan penciptaan ini. Karena jika tidak sesuai, maka yang diperbuat manusia itu akan sia-sia. Sebagai contoh, piring dibuat sebagai alat untuk makan, maka piring tersebut akan bermanfaat jika digunakan untuk makan. Jika piring digunakan untuk duduk atau yang lainnya maka fungsi piring itu akan sia-sia. Seperti itulah ilustrasi tujuan penciptaan manusia.
Bekerja adalah suatu keniscayaan. Orang yang hidup tidak terlepas dari bekerja. Oleh karena itu bekerja merupakan bagian dari proses mengabdi (ibadah) kepada Allah. Bekerja, walaupun berbentuk amalan dunia akan menjadi ibadah jika diniatkan untuk ibadah. Dan jika tidak diniatkan ibadah maka akan menjadi aktifitas biasa. Maka ketika kita akan bekerja seharusnya semata-mata diniatkan untuk ibadah. (Tanjung, 2013: 2)
Posisi niat sangat penting karena niat yang akan membedakan mana pekerjaan yang bernilai ibadah atau tidak. Rasulallah bersabda “Hanyasanya setiap pekerjaan itu dengan niat”. (HR. Bukhari Muslim) Hadis nabi ini menjelaskan betapa pentingnya niat dalam setiap tindakan. Hukum bekerja pada dasarnya mubah, tetapi ketika diniatkan ibadah maka akan mendapatkan pahala. Tentunya dengan melakukan pekerjaan yang halal dan diridai Allah Swt.
Seseorang yang bekerja dengan niat ibadah, berarti telah menjalankan tugas kekhalifahannya yaitu untuk memakmurkan bumi. Untuk menjalani tugas itu manusia dibekali kekuatan fisik dan fasilitas untuk memelihara kekuatan tersebut, yaitu makanan dan minuman. Memelihara kehidupan adalah wajib, sehingga mencari rizki pun wajib. (Kemenag RI, 2012: 63).
Penjelasan tentang bekerja yang merupakan salah satu perintah Allah, bisa dilihat pada ayat adalah Q.S. at-Taubah [9]: 105):
È@è%ur (#qè=yJôã$# uŽz|¡sù ª!$# ö/ä3n=uHxå ¼ã&è!qßuur tbqãZÏB÷sßJø9$#ur
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, Maka Allah dan rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu”.
Pada ayat tersebut Allah berfirman, bahwa bekerja merupakan suatu kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Terlihat pada potongan ayat di atas sebuah kata “إعملوا  berarti “bekerjalah kamu”. Intinya, dalam kalimat tersebut telah jelas bahwa itu bermakna perintah, karena bentuk kata kerjanya adalah fi’il amr. Dalam ilmu kaidah Usul Fikih setiap asal kata perintah adalah menunjukan wajib "الاصل في الامر للوجوب"  maka, ayat tersebut berbicara mengenai kewajiban bagi setiap umat untuk bekerja.
Selain ayat diatas, hadis Nabi bisa dijadikan dasar bahwa bekerja adalah ibadah. Bahkan bekerja dapat dijadikan jaminan atas ampunan dosa, sebagaimana disabdakan Rasulallah Saw., “Barangsiapa yang diwaktu sorenya merasakan kelelahan karena bekerja, berkarya dengan tangannya sendiri, maka sore itulah ia diampuni dosa-dosanya.” (HR. Ibnu Abbas).
Bekerja merupakan tindakan yang sangat terpuji. Oleh sebab itulah para nabi pun tidak ketinggalan, mereka merupakan pekerja keras untuk memenuhi kebutuhan diri dan keluarga mereka sebagaimana yang terjadi pada Nabiyullah Zakaria a.s.. beliau adalah tukang kayu sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw. “Dahuulu Nabi Zakariya a.s. adalah seorang tukang kayu” (HR. Muslim)
Menurut fakta historis, Nabi Muhammad Saw. Juga giat dalam bekerja, pada mulanya beliau bekerja mengembalakan kambing milik pemannya. Setelah memasuki usia remaja, beliau menjadi pedagang dengan memperdagangkan barang milik Sayyidah Khadijah r.a.. Berkat kejujuran dan keuletannya, dimasa mudanya, beliau sudah menjadi saudagar sukses.
Kiranya, ayat al-Qur’an, hadis dan pengalaman para Nabi di atas bisa menjadi dasar bahwa bekerja adalah bagian dari ibadah. Sehingga akan memberikan motivasi spiritual untuk giat dalam bekerja demi tercapainya kesejahteraan sejati yang dijanjikan al-Qur’an.

Kesimpulan
Tujuan bekerja adalah untuk mencapai kesejahteraan. Kesejahteraan bukan sekedar dalam bentuk material saja, tetapi mencakup spiritual. Bahkan, kesejahteraan yang kekal abadi adalah kesejahteraan spiritual ini. Dengannya, manusia akan merasakan ketenangan batin di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
Tujuan mulia ini ternodai oleh penyimpangan-penyimpangan dalam bekerja yang didorong oleh pandangan pragmatis materialistis; bekerja hanya sebatas memenuhi kebutuhan material tanpa menghayati makna bekerja sebagai suatu pengabdian kepada Allah. Oleh sebab itu dibutuhkan etos kerja profetik dalam bekerja, yaitu etos kerja yang berpedoman pada prinsip kenabian yang memanusiakan (humanisasi) dan membebaskan (liberasi) dalam naungan keimanan (transendensi).
Etos kerja profetik yang ditawarkan oleh Al-Qur’an adalah semangat kerja keras yang dilandasi oleh keimanan. Kerja keras harus dilaksanakan dengan mengoptimalkan segala aset bangsa baik laki-laki atau perempuan dan semua pihak dengan tetap berlandaskan keimanan yang kuat.
Dengan kata lain, melalui semangat kerja keras dengan penuh keimanan kepada Allah Swt. berarti seorang muslim sudah berusaha memanusiakan dirinya, membebaskan dirinya dari segala bentuk penindasan, dan yang terpenting adalah dengan bekerja, manusia telah menjalani tugasnya untuk beribadah dan sebagai khalifah Allah di muka bumi. Jika etos kerja profetik ini menjadi spirit dalam bekerja maka Allah akan memberikan kebahagiaan berupa kehidupan yang baik di dunia dan pahala yang besar di akhirat.


Daftar Pustaka
Abduh, Muhammad, Tafsir Juz ‘Amma, Beirut, Dar al-Fikr, 1980
Arwani, Ahmad, Delapan Kunci Sukses Berbisnis: Berbisnis Ala Rasulallah Saw., Jakarta, Inti Medina, 2010
Ismail, Asep Usman, Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial Sebuah Rintisan Membangun Paradigma Sosial yang Berkeadilan dan Berkesejahteraan, Tanggerang, Lentera Hati, 2012
Jurdi, Syarifuddin et al, Sosiologi Profetik Invitasi islam Bagi Studi Sosial dan Kemanusiaan, Yogyakarta, Saroba, 2009
Kemenag RI, Tafsir al-Qur’an Tematik, Kedudukan dan Peran Perempuan, Jakarta, Kemenag RI, 2012
____________, Tafsir al-Qur’an Tematik, Bekerja, Usaha dan Kewirausahaan, Jakarta, Kemenag RI, 2012
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu Epistemologi, Metodologi, dan Etika, Yogyakarta, Tiara Wacana, 2007
Madjid, Nurcholish, Cendikiawan dan Religiusitas Masyarakat, Jakarta, Paramadina,1999
Poerwadarminta, W.J.S,  Kamus Umum bahasa Indonesia, Jakarta, Balai Pustaka, 2011
Tanjung, M. Azrul et al, Meraih Surga dengan Berbisnis, Jakarta, Gema Insani, 2013
Tasmara, Toto, Membudayakan Etos Kerja Islami, Jakarta, Gema Insani, 2002
Yanggo, Huzaimah Tahido, Fikih Perempuan Kontemporer, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2010
Zuhaili, Wahbah, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-syari’ah wa al-Manhaj Jilid 7, Damaskus, Dar al-Fikr, 2009


Previous
Next Post »
Thanks for your comment