WAKAF UANG: SOLUSI ISLAM UNTUK KESEJAHTERAAN UMAT
oleh: Abdul Kadir Jailani, S.Pd
Prolog
“Keadilan Sosial Bagi Rakyat Indonesia”. Begitulah kalimat di dalam sila ke-5 Pancasila yang menjadi dasar negara
kita. Kalimat ini setiap saat dibacakan dalam upacara-upacara resmi dan formal.
Selain itu, di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan
tentang tujuan didirikan Negara Indonesia, yaitu
untuk “melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”.
Kenyataannya, tujuan yang tertera dalam pancasila dan pembukaan
UUD 1945 itu masih jauh dari tercapai. Hal ini dibuktikan dengan masih banyaknya masyarakat
Indonesia yang hidup dibawah garis kemiskinan. Keadaan ini, seolah-olah
menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah-nya kaum miskin. Beberapa hasil
penelitian menunjukan realitas tersebut, antara lain Gerakan Anti Pemiskinan Rakyat
Indonesia (GAPRI) menyatakan, sebelum krisis moneter sekitar 20 juta warga
Indonesia berada dibawah garis kemiskinan. Sesudah krisis, jumlah itu meningkat
menjadi dua kali lipat.. (Syarbini, 2012: 36) Data BPS tahun 2014 menyebutkan
bahwa Indonesia masih menyisakan 10, 96 % atau dibulatkan menjadi 11% penduduk
miskin, ini artinya setiap 100 rakyat Indonesia, 10 orang dalam katagori
miskin. (BPS, 2014))
Data diatas memang masih debatable,
tapi paling tidak bisa menunjukan betapa parahnya kondisi kemiskinan di
Indonesia dan rendahnya kesejahteraan rakyat Indonesia. Kenyataan ini
menyebabkan kesenjangan antara si kaya dengan si miskin semakin terlihat jelas. Kemudahan ekonomi yang dimiliki si kaya menyebabkannya semakin kaya,
sebaliknya si miskin semakin miskin.
Lalu, apa langkah yang harus dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dalam mengatasi masalah ini? Selanjutnya, bagaimana
formula yang ditawarkan Islam sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas rakyat
Indonesia sebagai rekomendasi untuk meningkatkan kesejahteraan umat?
Dua pertanyaan diatas tidak mungkin hanya
dijawab oleh pemerintah, tetapi masyarakat Islam juga
berkewajiban menjawab pertanyaan itu. Karena
setiap muslim memiliki kewajiban dalam
membantu kaum lemah (mustad’ifin). Islam sebagai agama rahmatan lil
alamin dengan kitab suci-Nya al-Qur’an memiliki instrumen-instrumen yang
bisa mengatasi permasalahan umat. Salah satu instrumen Islam dalam meningkatkan
kesejahteraan umat adalah wakaf.
Tetapi , nampaknya mayoritas umat Islam
Indonesia mempersepsikan bahwa wakaf keagamaan lebih penting dari pada wakaf
untuk pemberdayaan sosial. Sehingga mereka lebih banyak memperaktekan wakaf
dalam bentuk masjid, mushalla, makam dan sebagainya. Padahal jika dioptimalkan,
potensi wakaf lebih dari sekedar fasilitas ibadah. Wakaf bisa ditujukan untuk
pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan umat. Untuk mengoptimalkan
potensi wakaf dalam pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan umat, harta wakaf
semestinya bersifat produktif dan bisa dikembangkan, seperti wakaf uang yang bisa
diinfestasikan kembali.
Wakaf uang, dalam bentuknya, dipandang sebagai
salah satu solusi yang dapat menjadikan harta wakaf menjadi produktif, karena
uang merupakan komoditas yang siap memproduksi dalam hal pengembangan lain,
bukan sekedar alat tukar menukar saja. Di Indonesia, wakaf uang belum banyak
dikenal oleh masyarakat dan belum banyak disosialisasikan oleh pemerintah.
Masyarakat mayoritas hanya mengenal wakaf non produktif, seperti masjid, Al-Qur’an,
makam dan sebagainya.
Tulisan ini akan membahas, tentang wakaf uang
sebagai solusi kesejahteraan umat. Penulis memulai dari landasan teori tentang konsep umum wakaf, wakaf uang dalam pandangan Al-Qur’an dan Hadis, serta
konsep kesejahteraan umat. Setelah itu penulis akan membahas potensi wakaf uang di Indonesia dan terakhir
merupakan tawaran strategi pengelolaan wakaf uang, mulai dari penggalangan, sosialisasi
sampai kepada penyaluran.
The last but
not least, semoga tulisan ini dapat memberikan kontribusi nyata bagi terciptanya masyarakat
Indonesia yang sejahtera, sehingga tercapailah cita-cita bangsa untuk
mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan.
Konsep Umum Wakaf
Wakaf adalah “Menahan harta tertentu yang bisa
dimiliki, yang bisa berpindah, mungkin untuk dimanfaatkan beserta tetap
bendanya, dengan tidak melakukan tindakan (menjual, memberikan atau mewarisi),
untuk di salurkan kepada sesuatu yang mubah (boleh) yang ada”. (Hasan, 2013:
158) Sedangkan menurut Undang-undang No. 41 tahun 2004 wakaf didefinisikan
sebagai “perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian
harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu
tertentu sesuai dengan kepentingannya guna untuk keperluan ibadah dan atau
kesejahteraan umum sesuai syariah”.
Wakaf dikatakan sah secara syariat apabila
rukun dan syaratnya tercukupi Adapun rukun wakaf adalah “orang yang mewakafkan (wakif),
yang di wakafkan (maukuf), orang yang diserahkan wakaf (maukuf alaih)
dan ikrar (shigat)”. (Hasan, 2013:
159)
Adapun
wakaf uang secara khusus didifinisikan oleh Departemen Agama sebagaimana
dikutip Sudirman adalah” Wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang dan
lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang”. (Sudirman, 2011: 21) Dengan
demikian wakaf uang merupakan salah satu bentuk wakaf yang diserahkan oleh
seorang wakif kepada nazir dalam bentuk uang kontan, kemudian dikelola oleh
nazir sebagai modal tetap substansinya yang keuntungannya disalurkan sesuai
ketentuan wakif.
Sedemikian pentingnya wakaf uang dalam konteks kesejahteraan umat,
maka MUI mengeluarkan fatwa tentang masalah tersebut yang isinya sebagai
berikut:
1)
“Wakaf uang
(cash wakaf/waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan olehs seseorang,
kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk tunai.
2)
Termasuk ke
dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga
3)
Wakaf uang
hukumnya jawaz (boleh)
4)
Wakaf uang
hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang diperbolehkan secara
syar’i.
5)
Nilai pokok
uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau
diwariskan”. (Najib, 2008: 309)
Wakaf Uang dalam Pandangan Al-Qur’an dan Hadits
Di dalam
Al-Qur’an. Wakaf tidak dijelaskan secara jelas dan tegas, tetapi ada beberapa
ayat yang digunakan oleh para ulama sebagai landasan disyariatkannya wakaf.
Sebagaimana dalam ayat-ayat berikut;
`s9 (#qä9$oYs? §É9ø9$# 4Ó®Lym (#qà)ÏÿZè? $£JÏB cq6ÏtéB 4 $tBur (#qà)ÏÿZè? `ÏB &äóÓx« ¨bÎ*sù ©!$# ¾ÏmÎ/ ÒOÎ=tæ ÇÒËÈ
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa
saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya” (QS. Al-Imran
[3]: 92)
Muhammad Ali Shabuni dalam Sofwah Al-Tafasir, menerangkan maksud ayat diatas, “Tidaklah seorang termasuk golongan abror
(berbuat kebaikan) dan mendapatkan surga sehingga ia menginfakan harta terbaiknya”. (Shabuni, 2007: 212) Disebutkan juga
oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya bahwa ketika turun ayat ini, Abu Tholhah
berkata kepada Rasulallah “Ya Rasulallah sesungguhnya Allah berfirman “Kamu
sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai” Kemudian Abu Thalhah
mensedekahkan hartanya yang paling ia cintai yaitu bairuha’ (sebidang kebun)
dengan harapan agar ia mendapatkan kebaikan dan simpanan dari sisi Allah.
Setelah menyerahkan harta itu, rasulallah menyambutnya dengan bersabda “Bagus,
bagus, yang demikian itu adalah harta yang mengutungkan. (Ibnu Katsir, Maktabah
Shamela)
Syaikh Syarqawi (t.th: 173) dalam
Hasyiah Syarqawi ‘Ala At-Tahrir mengatakan, ayat diatas adalah dasar
dianjurkannya wakaf, dengan dalil ketika Abu Thalhah mendengar ayat ini, dia
bersegera untuk mewakafkan kebunnya sebagaimana yang dikatakan Imam Ramli. Ayat
di atas menjelaskan bahwa orang yang dikatakan baik menurut Allah adalah yang
menginfakkan hartanya yang terbaik. Dan salah satu instrumen Islam untuk
memperoleh kebaikan adalah wakaf uang. Bahkan
dalam Surat Al-Baqarah 261 disebutkan bahwa orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah akan dilipatgandakan pahalanya:
ã@sW¨B tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZã óOßgs9ºuqøBr& Îû È@Î6y «!$# È@sVyJx. >p¬6ym ôMtFu;/Rr& yìö7y @Î/$uZy Îû Èe@ä. 7's#ç7/Yß èps($ÏiB 7p¬6ym 3 ª!$#ur ß#Ïè»Òã `yJÏ9 âä!$t±o 3 ª!$#ur ììźur íOÎ=tæ ÇËÏÊÈ
Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan
hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan
tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan
(ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki. dan Allah Maha luas (karunia-Nya)
lagi Maha Mengetahui.
Allah membuat suatu perumpamaan, bahwa infak
seperti satu benih yang darinya tumbuh tujuh butir. Dari yang tujuh butir akan
menumbuhkan seratus butir, karena setiap kebaikan itu akan dibalas dengan
sepuluh kebaikan sampai tujuh ratus kebaikan. Pahala ini akan dianugerahkan
Allah bagi orang yang ikhlas dalam sedakahnya. Bahkan Allah akan melipatgandakannya
kepada orang yang dikehendaki. Artinya Allah memberikan ganjaran sesuai
kualitas keikhlasan seseorang.
Kedua ayat diatas termasuk ayat-ayat yang
mendorong umat islam untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk kepentingan
umum. Ayat ini sering disitir untuk mendorong umat muslim berinfak dan
bersedekah. Wakaf merupakan bagian dari rangkaian sedekah yang justru sifatnya
kekal. Dengan begitu penggunaan kedua ayat sebagai pijakan dasar hukum
menemukan relevansinya. Kedua ayat ini
juga dijadikan landasan hukum oleh Majelis ulama Indonesia dalam menjelaskan statuswakaf uang.
Adapun dalil hadits dianjurkannya wakaf adalah
sebagai berikut:
اَنَّ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَصَابَ اَرْضًا
بِخَيْبَرَ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَأْمُرُهُ
فِيْهَا فَقَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ اِنِّى اَصَبْتُ اَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ اُصِبْ مَالًا قَطٌّ اَنْفَسَ عِنْدِى مِنْهُ
فَمَا تَأْمُرُنِى بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ اَصْلَهَا فَتَصَدَّقَ بِهَا
(رواه البخاري)
Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a, bahwa Umar
bin Khattab r.a memperoleh tanah (kebun) di Khaibar, lalu ia datang kepada Nabi SAW untuk
meminta petunjuk mengenai tanah itu. ia berkata wahai Rasulallah, saya
memperoleh tanah di Khaibar yang belum pernah saya memperoleh harta yang lebih
baik bagiku melebihi tanah tersebut. Apa perintah engkau kepedaku mengenainya?
Nabi SAW menjawab, “jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan hasilnya”.
(HR. Bukhari)
Hadits kedua, yang bisa dijadikan dalil wakaf adalah:
عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ اَنَّ
رَسُوْلَ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا مَاتَ ابْنُ اَدَمَ انْقَطَعَ
عَمَلُهُ اِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ اَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ
صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ (رواه احمد)
Dari abu
Hurairah, bahwa Rasulallah SAW bersabda “Apabila anak adam (manusia) meninggal
dunia, mak putuslah amalnya, kecuali tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat dan anak shaleh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Ahmad)
Para ulama berpendapat bahwa maksud dari
sedekah jariyah dalam hadits diatas adalah wakaf yang diberikannya ketika masih
hidup. (Hasan, 2013: 158) Sedekah jariah adalah sedekah yang pahalanya tetap
walaupun orang yang bersedekah tersebut sudah wafat. Selama sedekahnya itu
masih dimanfaatkan di dunia, pahalanya tetap mengalir kepadanya.
Ditinjau dari kekuatan hukum yang dimiliki,
wakaf merupakan ibadah yang bersifat anjuran (sunah). Karena sedikit sekali
hukum-hukum wakaf yang ditetapkan berdasarkan Al-Qur’an dan sunah, maka ajaran
wakaf terletak pada wilayah ijtihadi, khususnya yang berkaitan dengan
aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan, dan lain-lain.
Selain Al-Qur’an dan hadits, dasar dalam
membolehkan wakaf uang yang diajukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) adalah
pendapat Al-Zuhri (w. 124 H), bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan
cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya itu
disalurkan kepada maukuf alaih, sebagaimana yang ditulis Abu Su’ud (1997:
20-21), dalam Risalah Fi Jawazi Waqf Al-Nuqud:
“Disandarkan perkataan
kepada Syihabuddin Al-Zuhri yang dipindah dari Al-Bukhari. Al-Bukhari berkata, “Bahwa
Al-Zuhri mengatakan bagi orang yang menjadikan wakaf seribu dinar, kemudian
diserahkan kepada seorang pengusaha, kemudian pengusaha itu menjadikannya modal
untuk usaha dan keuntungannya disedekahkan kepada orang miskin”
Dari pendapat ulama diatas bisa diambil
pengertian bahwa ada perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang hukum wakaf
uang, tetapi pendapat para ulama diatas bisa dijadikan pegangan dalam
mempraktekan wakaf uang, apalagi manfaat yang akan didapatkan sangat besar.
Dalam konteks Indonesia, Majelis Ulama
Indonesia (MUI) melalui komisi fatwanya pada tanggal 12 Mei 2012, memfatwakan
bolehnya wakaf uang. Dalam fatwa itu ditetapkan bahwa wakaf uang adalah wakaf
yang dilakukan seseorang, sekelompok orang, lembaga, atau badan hukum, dalam
bentuk uang (cash). Termasuk dalam pengertian uang adalah surat-surat
berharga. Wakaf uang hanya boleh disalurkan untuk hal-hal yang diperbolehkan
oleh syara. Nilai pokok uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh di jual,
dihibahkan atau diwariskan.
Selain hukum agama, wakaf uang juga memiliki
payung hukum positif, sebagaimana yang tercantum dalam undang-undang nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf.
Konsep Kesejahteraan Umat
Menurut Undang-Undang No. 11 Tahun 2009,
kesejahteraan sosial adalah suatu kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual dan sosial warga negara agar
dapat hidup layak dan mampu mangembangkan diri sehingga dapat melaksanakan
fungsi sosialnya. Dalam khazanah ilmu-ilmu sosial disebutkan bahwa
kesejahteraan adalah suatu keadaan terpenuhinya sekurang-kurangnya lima bidang
yaitu: kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial, dan pekerjaan sosial.
(Ismail, 2012: 4)
Indikator kesejahteraan sosial menurut
definisi di atas meliputi material,
spiritual, dan social. Pengertian ini merupakan
konsep holistik kesejahteraan umat yang sesuai dengan konsep Al-Qur’an. Kualitas
kesejahteraan yang ditawarkan Al-Qur’an tidak hanya di dunia,
tetapi juga kesejahteraan akhirat. Kesejahteraan fersi Al-Qur’an ini tercermin
dalam do’a yang diajarkan Allah sebagai berikut:
رَبَّنَا اتِنَا فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفَى الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا
عَذَابَ النَّارِ (البقرة: 201)
Artinya:
Ya Tuhan kami,
berikanlah kami kebaikan di dunia dan kebaikan diakhirat, dan lindungilah kami
dari api neraka (QS. Al-Baqarah [2]; 201)
Kesejahteraan menurut ayat ini terdiri dari tiga aspek yaitu kebaikan
dunia, akhirat, dan keselamatan dari neraka. Shabuni (2007/1: 126) dalam
tafsirnya Sofwah Al-Tafasir bahwa kebaikan dunia itu mencakup kesehatan,
rumah yang lapang, pasangan yang baik, rizki yang luas dan sebagainya. Kebaikan
akhirat mencakup keamanan pada hari kiamat, dimudahkan hisab, masuk surga dan
melihat Allah SWT”.
Konsep kesejahteraan menurut Al-Qur’an diatas
mencerminkan kesejahteraan holistik yang mencakup segala dimensi kehidupan
manusia dunia dan akhirat. Kesejahteraan yang digambarkan Al-Qur’an ini menjadi
mimpi setiap orang, untuk mencapainya harus melalui petunjuk Islam, yang salah
satu caranya adalah dengan mengoptimalkan instrumen wakaf uang sebagai solusi
dalam mencapai kesejahteraan itu.
Potensi Wakaf Uang Di Indonesia Untuk Kesejahteraan Umat
Jumlah penduduk muslim di Indonesia terbesar
di dunia, aset wakaf di Indonesia sangat besar. Nafis melaporkan bahwa wakaf tanah
di Indonesia yang tercatat sampai sekarang mencapaiu 358.710 lokasi dengan luas
tanah 1.538.198.586 M2. Tetapi potensi ini belum mampu berperan maksimal dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat. (www.NU.go.id)
Wakaf uang dalam bentuknya dianggap sebagai
salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Karena uang
disini bukan lagi sebagai alat tukar menukar saja, tetapi lebih dari itu uang
siap dijadikan sebagai komoditas yang siap dijadikan alat produksi. Wakaf uang
juga memudahkan mobilisasi uang dimasyarakat, para wakif tidak perlu menunggu
menjadi tuan tanah, tidak perlu mengumpulkan uang dalam jumlah yang banyak
untuk bisa menjadi wakif. Selain itu tingkat kedermawanan masyarakat cukup
tinggi, sehingga ini melahirkan optimisme bahwa wakaf uang bisa menjawab
masalah sosial ekonomi di Indonesia.
Wakaf uang sudah dilaksanakan dari Dinasti
Bani Mu’awwiyah. Wakaf tunai sebagaimana dijelaskan sebelumnya dibolehkan oleh
Imam Al-Zuhri (wafat tahun 124 H). Bahkan sebagian ulama Syafi’i juga
membolehkan wakaf uang. Majelis Ulama Indonesia juga sudah memutuskan bolehnya
wakaf uang dalam fatwa MUI tanggal 11 Mei 2002. Fatwa ini didukung dengan hukum
positif dalam bentuk undang-undang no. 41 tahun 2004 tentang wakaf. Modal hukum
ini akan mendukung optimalisasi wakaf uang untuk kesejahteraan umat di
Indonesia.
Aset berharga bangsa Indonesia adalah jumlah
muslim yang terbesar di jagad raya yang memungkinkan terkumpulnya dan
berkembangnya wakaf uang di Indonesia. Jika wakaf tunai dapat
diimplemenytasikan dengan baik maka ada dana potensial yang sangat besar yang
bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat.
Jika dua puluh juta umat Islam Indonesia mau
mengumpulkan wakaf tunai senilai 100 ribu setiap bulan, maka dana yang
terkumpul berjumlah 24 triliun setiap tahun. Jika lima puluh orang berwakaf,
maka setiap tahun dana akan terkumpul 60 triliun. Jika saja terdapat satu juta
saja masyarakat muslim Indonesia mewakafkan dananya sebesar 100 ribu setiap
bulan, maka akan diperoleh pengumpulan dana sebesar 100 milyar setiap bulan dan
dalam satu tahun akan menjadi 1,5 triliun.
Jika dana ini diinvestasikan dengan tingkat return
10 persen pertahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar 10 miliar
setiap bulan (120 miliar per tahun). Sungguh suatu potensi yang luar biasa. Dari
keuntungan 120 miliar ini, kemudian disalurkan untuk pemberdayaan ekonomi
masyarakat maka kesejahteraan umat yang dicita-citakan oleh bangsa ini akan
tercapai. Tinggal bagaimana mengelolanya secara profesional dan strategi yang
terencana dan terukur.
Strategi Pengelolaan Wakaf
Uang
Potensi
besar wakaf uang di Indonesia, akan menuai hasil yang signifikan jika dikelola
dengan baik dan professional, bukan sekedar
menjadi pekerjaan sampingan. Pengelolaan ini dilakukan oleh nazhir. Nazhir
adalah pihak yang menerima harta benda wakaf dari yang mewakafkan (wakif) untuk dikelola dan dikembangkan sesuai
dengan peruntukannya. (Wadjdi dan Mursyid, 2007: 180)
Kesuksesan
wakaf uang ini sangat bergantung pada pengelolaannya. Ada beberapa hal yang
perlu dilakukan dalam mengelola wakaf uang yaitu:
1.
Penggalangan
“Untuk menggalang dana wakaf uang, dapat dilakukan dengan dua cara
yaitu promosi dan pelayanan”. (Wadjdi dan Mursyid, 2007: 180) Promosi bisa dilakukan dengan sosialisasi dan edukasi kepada
masyarakat sampai lapisan terbawah. Seluruh komponen umat perlu terus
mendakwahkan konsep, hikmah dan manfaat wakaf pada seluruh lapisan masyarakat.
Pendekatan fikih wakaf progresif dapat diperkenalkan kepada masyarakat melalui
pendekatan lintas mazhab. Pemikiran hukum wakaf Mazhab Hanafi bisa dijadikan
acuan komparatif bagi masyarakat yang mayoritas bermazhab Syafi’i.
Dalam
menyampaikan dakwah tentang wakaf produktif ini, perlu bekerja sama dengan para
ulama setempat yang memiliki pengaruh besar dalam mendidik umat. Para ulama bisa menyampaikan urgensi wakaf
uang dalam mensejahterakan umat dengan menjelaskannya menggunakan pendekatan
fikih lintas mazhab.
Untuk saat ini,
berwakaf tidak sulit. Wakif cukup datang langsung ke kantor salah satu dari
lima lembaga keuangan Syariah yang sudah ditentukan yaitu: Bank Syariah
Mandiri, BNI Syariah, Bank Muamalat, Bank DKI Syariah dan Bank Mega Syariah.
semakin banyak dana yang terkumpul maka akan semakin besar potensi yang
pemanfaatannya.
2.
Infestasi
Setelah dana
wakaf uang terkumpul dalam jumlah tertentu, nilai
pokok wakaf harus dikembangkan supaya menghasilkan keuntungan. Keuntungan ini
nantinya akan disalurkan untuk pemberdayaan ekonomi umat. Untuk mengembangkan nilai pokok wakaf uang
ini maka perlu diinvestasikan.
Dengan muncul dan berkembangnya
lembaga-lembaga keuangan syariah dengan sistem bagi hasil, jual beli dan sewa
menyewa, maka akan semakin mempermudah para nazhir untuk menginvestasikan
dana-dana wakaf yang terhimpun sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Diantara
bentuk-bentuk investasi yang bisa dilakukan nazhir sebagai berikut:
Pertama, Investasi
Mudharabah, yang merupakan pola kerjasama usaha di mana pihak pertama (shahibul
mal) menyediakan modal dan bertindak sebagai mitra pasif sedangkan pihak
lainnya (mudharib), menyediakan keahlian dan manajemen untuk mengelola
usaha”. (Nadjib, dkk.: 2008: 40) Mudharabah merupakan
salah satu produk keuangan syariah yang ditawarkan untuk mengembangkan harta
wakaf.
Satu hal yang
dapat dilakukan oleh nazir dengan sistem ini adalah membangkitkan sektor usaha
kecil dan menengah dengan memberikan modal usaha kepada petani gurem, nelayan,
pedagang kecil dan menengah (UKM). Dalam hal ini shohibul mal
menyediakan modal 100% dari kegiatan usaha dengan sistem bagi hasil.
Kedua,
Investasi Musyarakah, yang merupakan pola kejasama kemitraan antara dua
orang atau lebih dalam usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberi
kontribusi dana dengan proporsi perbandingan yang sama atau tidak sama dan
bersepakat atas rasio keuntungan maupun kerugian yang ditetapkan, berdasarkan
proporsi penyertaan modal atau kesepakatan bersama. (Nadjib, dkk.: 2008: 40) Investasi ini hampir sama dengan mudharabah,
hanya saja pada investasi musyarakah ini risiko yang ditanggung oleh nazir
lebih kecil karena modal usaha ditanggung bersama oleh kedua pihak atau lebih. Investasi
ini memberikan peluang kepada nazir untuk menyertakan modalnya pada sektor
usaha kecil dan menengah (UKM) yang dianggap memiliki kelayakan usaha tapi
kekurangan modal untuk membangun usahanya.
Ketiga,
Investasi Murabahah, melalui investasi ini nazhir diharapkan berperan
sebagai interpreneur yang membeli peralatan dan material yang diperlukan melalui
suatu sitem murabahah. Keunggulan dari sistem investasi ini adalah nazir dapat
mengambil keuntungan dari selisih harga pembelian dan penjualan barang. Manfaat
investasi ini adalah nazir dapat membantu pengusaha-pengusaha kecil yang
membutuhkan alat-alat produksi untuk usahanya.
Keempat,
Investasi Ijarah, yaitu investasi yang khusus pada wakaf tidak bergerak,
seperti tanah wakaf. Dalam hal ini nazir menyediakan dana untuk mendirikan
bangunan diatas tanah wakaf itu, seperti pusat pebelanjaan, confention hall,
rumah sakit, apartemen, gedung pertemuan dan sebagainya. Nazir menyewakan
bangunan-bangunan tersebut sehingga dapat menutupi modal dan mengambil
keuntungan yang dikehendaki.
Investasi wakaf
uang tersebut bertujuan untuk mengoptimalkan harta wakaf dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan umat, dan sebagai dana dakwah dalam kegiatan
keagamaan yang belum tersentuh oleh pemerintah. Jika dikelola secara
profesional wakaf uang akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi umat dan
dapat menjadi instrumen pemerataan pendapatan, bagi masyarakat muslim yang
hidup dalam kemiskinan.
3.
Penyaluran
Pasal 22
Undang-undang N0. 41 tahun 2004 menyatakan bahwa dalam rangka mencapai tujuan
dan fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntikkan bagi:
a.
“Sarana dan kegiatan ibadah
b.
Sarana dan
kegiatan pendidikan serta kesehatan
c.
Bantuan fakir
miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa
d.
Kemajuan dan
peningkatan ekonomi umat, dan atau
e.
Kemajuan
kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan perundang-undangan”.
Pasal di atas
secara tegas menyatakan bahwa sasaran peruntukan harta benda wakaf tidak
semata-mata untuk kepentingan ibadah dan sosial, tetapi juga diarahkan untuk
kemajuan kesejahteraan umum dengan cara
mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf khususnya wakaf uang.
Simpulan
Melalui pengelolaan wakaf uang yang baik, kesejahteraan umat akan
meningkat. Kesejahteraan ini adalah bentuk keadilan sosial yang dicita-citakan
pancasila. Lebih dari itu,
tujuan mulia wakaf uang adalah untuk ibadah,
yang dengannya manusia akan menjadi umat yang sejahtera secara material dan
spiritual. Secara material, tampak dari meningkatnya kesejahteraan bagi yang
menerima wakaf (maukuf alaih) dan kesejahteraan spiritual akan diraih
oleh yang mewakafkan hartanya (wakif), disebabkan amal jariyahnya yang
tidak akan terputus walaupun si wakif sudah meninggal.
Untuk mecapai kesejahteraan ini, pengelolaan
wakaf harus dilakukan secara profesional, mulai dari penggalangan, infestasi
dan penyaluran. Dengan semangat profesionalitas ini, diharapkan tujuan seperti
yang penulis ungkapkan di atas akan tercapai.
Akhirnya semoga tulisan ini bermanfaat sebagai
solusi Islam untuk kesejahterakan umat, demi tercapainya cita-cita bangsa yaitu
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa.
.
Daftar Pustaka
Al-Dimisyqi, Imad Ad-din Abu Al-Fida, Isma’il
bin Katsir, Al-Qurasyiyyi, Al-Dimasyqiyyi, Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim, versi
e book Maroji’ al-Akbar.
Al-Kaf, Hasan bin Ahmad bin Muhammad, 2013, Al-Taqrirat Al-Sadidat Fi Al-Masa’il
Al-Mufidat, Riyad, Dar Al-Mirots Al-Nabawi, Riyad.
Al-Hanafi, Abu Sa’ud
Muhammad bin Muhammad bin Musthafa Al-Imari Al-Efendi, Risalah fi jawazi Waqfi Al-Nuqud, Dar Ibnu Hazm, Beirut.
Syarbini, Amirullah, 2012, Mutiara Al-Qur’an Pesan Al-Qur’an untuk Mengatasi Problema Umat
dan Bangsa, Prima Pustaka, Jakarta
Ismail, Asep Usman, 2012, Al-Qur’an dan Kesejahteraan Sosial, Lentera hati, Tanggerang.
Hasan, Sudirman, , 2011, Wakaf Uang Perspektif Fiqih, Hukum Positif dan Manajemen,
UIN Maliki Press, Malang
Najib, Muhammad dkk., 2008, Investasi Syariah Implementasi
Konsep pada Kenyataan Empiris, Kreasi Wacana, Yogyakarta.
Syarqawi, t.th, Hasyiah
Syarqawi Ala Al-Tahrir juz II, Al-Hidayah, Surabaya.
ConversionConversion EmoticonEmoticon